Powered By Blogger

Kamis, 09 Juni 2011

pertanda alam

Pepetah Inggris mengatakan, "If you can read the sign, the sign is everyy where " Ya tanda ada di mana-mana dan seharusnya kita bisa membacanya.
Di Jawa,orang-orang dilarang memeotong daun pupus, daun paling muda yang berwarna indah dari pohon pisang. Bukan karena alasan mistis, tapi jika dilakukan bisa berakibat fatal untuk pohon pisang yang bersangkutan. Di Kalimantan, penduduk dilarang menebang pohon bambu khususnya yang biasa dibuat seruling saat bulan purnama. Lagi-lagi, juga bukan karena alasan mistis, tapi serapan air kala purnama jauh lebih besar dibanding waktu yang lain. Dan itu membuat pohon bambu tak bisa jadi suling kualitas tinggi.
Di Lamalaera, para nelayan setahun sekali bisa berburu ikan paus. Tapi, saat berburu mereka hanya diperbolehkan membunuh satu ikan saja. Sebab perburuan yang lebih akan berdampak pada mereka sendiri. Orang Senayang Lingga di Melayu, memiliki pantangan membuang sampah di lautan karena konon akan datang angin ribut. Bahkan suku Sakai memiliki waktu-waktu khusus untuk memanen hasil hutan,dari kayu sampai damar, dari madu sampai buah-buahan. Dan semua itu kini ramai disebut sebagai natural wisdom atau kearifan alam.
Mereka mengerti bahasa alam, mereka paham dan mampu membacanya.Dulu, bangku sekolah pun tak pernah mereka duduki, apalagi membaca buku dengan berbagai ilmu yang tinggi. Dulu, mereka hany melihat ke langit, mencari bintang agar sampai ke tujuan. Tanpa teknologi tapi,mereka jauh lebih mengerti dari pada kita, kini.
Hidup kita, kini dikepung dan dikelilingi teknologi. Kita menyebut diri kita sebagai masyarakat modern yang beradab dan berpengetahuan tinggi. Tapi ternyata, kita tak arif sama sekali.
Nafsu industri dan keserakahan duniawi, membuat banyak diantara kita menutup mata, menyumbat telinga pada berbagai pertanda bisikan alam. Sampai akhirnya, alam tak berbisik lagi. Kini ia murka.
Dan ketika alam murka, bukan para konglomerat penguasa mesin industri yang tertimpa bencana. Bukan para pejabat yang bermuslihat yang terlanda laknat. Dan juga bukan orang-orang kaya dari masyarakat kita. Mereka yang miskin yang terpinggirkan. Penduduk yang begitu susah mencari penghidupan. Dan jumlah mereka selalu lebih besar dari segelintir orang-orang kaya yang menguasai dan menguras potensi semesta.
Tampaknya, terkadang kita harus berbicara seperti alam, pada para penguasa, pada para orang kaya, pada konglomerat yang menggurita. Tidak dengan berbisik, tidak dengan bahasa-bahasa yang mengular indah. Tapi dengan tegas dan keras. Atau jangan-jangan, mereka menghendaki kita berbicara dengan murka? Ya, seperti alam...